“...dan sampaikanlah walau satu ayat!”



“...dan sampaikanlah walau satu ayat!”

Dalam ranah kekinian di bidang kita, rasa-rasanya tuh ayat kena banget.
Berapa banyak dari kalangan kita, peneliti-peneliti senior, dan bahkan yang sudah profesor, yang hasil penelitiannya cuman ditumpuk, ato maksimal cuman nampang di jurnal ilmiah.

Ilmu yang sudah sundul langit ntu cuman numpuk aja di kepalanya, ga pernah terbagikan secara massif. Hanya peneliti junior yang pernah bersinggungan secara fisik saja yang kadang bisa terresonansi ilmunya.

Untuk itulah perlu adanya provokasi, para junior seperti kita ini perlu unjuk keluar pada media yang lebih massif... nulis buku!
Menurut saya... sekali lagi menurut saya, ilmu sedikit tapi disampaikan, disebarluaskan, ntu jauh lebih manfaat daripada segudang ilmu tapi cuman disimpen doang.

Di luar sana, rujukan pustaka berbahasa Indonesia di bidang kita ntu masih sangat minim sekali. Masih banyak kesempatan untuk ngeksis berbagi ilmu. Bukannya berbagi ilmu merupakan salah satu amal jariyah? Amal yang tidak akan ada putusnya meski kita dah jadi tanah.

Masih junior niiih... takut nulisnya jeleek...
Naaaah! Justru karena masih junior ntu klo tulisannya jelek ga perlu terlalu malu, pan masih juniooor! Hehehe... Yang harus malu ntu... udah profesor, ga pernah nulis buku pula!

Bijimane? Jangan takut untuk memulai. Kita nulis sendirian mungkin masih terlalu berat atau belon PeDe. Klo keroyokan? Ya beranilaaaah!
Lagian klo keroyokan pemasarannya jadi lebih massif, kan agen pemasarannya jadi banyak.

Klo dah jadi satu buku... trus ada yang minta pada kita... trus dibaca orang... trus ada yang memberi kesaksian kemanfaatan buku kita... trus dia ikut menyebarkan... trus...
Yakin deeeh! Kepala kalian akan brasa pecah menikmati sensasinya (adl).

Bangsa Liliput!

Hingar-bingar Jaminan Kesehatan Nasional pada akhir-akhir ini seakan menjadi satu-satunya hal tentang kesehatan yang memerlukan tumpuan perhatian dari semua komponen masyarakat, khususnya para pemerhati bidang kesehatan. Program asuransi sosial yang oleh masyarakat lebih popular disebut sebagai BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) ini menyita terlalu banyak perhatian dan sumber daya, yang seharusnya juga tetap dialokasikan untuk masalah lain yang cukup urgen. Kementerian Kesehatan yang mengaku lebih mengedepankan paradigma preventif-promotif pun turut larut terlalu dalam dengan euphoria JKN yang notabene penuh dengan nuansa kuratif.

Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terakhir yang dilaksanakan pada tahun 2013 seakan berlalu begitu saja tanpa dilirik sama sekali. Meski sebenarnya hasilnya sarat dengan isi yang seharusnya membuat kita waspada.

Salah satu hasil Riskesdas yang seharusnya membuat kita sebagai sebuah bangsa miris adalah proporsi angka balita pendek dan sangat pendek (stunting) yang mencapai angka pada kisaran 37,2%. Presentase balita pendek dan sangat pendek ini meningkat bila dibandingkan dengan hasil survei Riskesdas pada tahun 2010 yang mencapai 35,6%. Angka cukup besar yang bisa membuat kita menjadi bangsa liliput! Miris…
Topik ini sudah pernah diangkat penulis berdasarkan data Riskesdas tahun 2007. Tetapi 7 tahun telah terlewat, dan angka stunting tetap saja tinggi, maka penulis mengangkatnya kembali agar menjadi perhatian!

Indikator pendek dan sangat pendek pada balita dihitung berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U). indikator ini menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik. Pada survei Riskesdas batasan yang dipakai adalah untuk ‘sangat pendek’ Zscore kurang dari -3,0, ‘pendek’ Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore  < -2,0, dan untuk kategori ‘normal’ Zscore ≤ -2,0.



Hasil survei Riskesdas menunjukkan bahwa 20 dari 33 provinsi di Indonesia mempunyai angka persentase di atas rata-rata angka nasional, dan persentase tertinggi ada di provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 51,7%. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2010), masalah kesehatan masyarakat dianggap ‘berat’ bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen dan ‘serius’ bila prevalensi pendek ≥40 persen. Masih menganggap ini bukan masalah serius???

Bila fakta ini masih belum cukup, masih ada beberapa catatan lain. Hasil Riskesdas juga mencatat bahwa rata-rata tinggi badan anak umur 5 sampai 18 tahun ada selisih 12,5 sentimeter pada anak laki-laki, dan 9,8 sentimeter pada anak perempuan. Indikator ini dinilai berdasarkan rujukan dari WHO (2007).


Udah Pendek, Tambun Pula!

Upaya untuk menyelesaikan masalah stunting pada balita cukup merepotkan, pemberian makanan tambahan tidak membuat balita bertambah tinggi pada usia selanjutnya, tetapi bertambah me’lebar’, atau bertambah gemuk. Tambun. Benar-benar mengarah pada liliput!

Riskesdas mencatat terjadi peningkatan obesitas (kegemukan) yang meningkat cukup tajam pada umur 18 tahun ke atas. Untuk laki-laki meningkat dari 13,9%  pada tahun 2007, menjadi 19,7% pada tahun 2013. Sedang pada perempuan lebih tajam lagi, dari 14,8% pada tahun 2007, menjadi 32,9% pada tahun 2013.

Fakta ke’tambun’an ini masih ditambah lagi dengan terjadinya peningkatan obesitas sentral (lingkar perut) dari 18,8% pada tahun 2007, menjadi 26,6% pada tahun 2013. Prevalensi terbesar justru ada di ibu kota DKI Jakarta, sebesar 39,7% pada tahun 2013 dari seluruh penduduk berusia 18 tahun ke atas.


Bagaimana Mengatasinya?

Seperti diuraikan sebelumnya, untuk mengatasi masalah stunting tidak bisa hanya diselesaikan dengan memberikan makanan tambahan pada balita, karena justru memancing timbulnya masalah lain, obesitas.

Upaya paling rasional adalah pencegahan. Mencegah supaya generasi berikutnya tidak menjadi stunting. Upaya ini tidak bisa dibebankan hanya kepada Kementerian Kesehatan saja, karena penyebab sesungguhnya adalah kemiskinan, yang menyebabkan ketersediaan pangan dalam keluarga menjadi berkurang. Untuk itu penyelesaian masalah dengan pendekatan multisektoral menjadi mutlak dilakukan. Kementerian yang membidangi pendidikan, pertanian, ekonomi, sarana-prasarana dan kesehatan harus duduk bersama-sama untuk menyelesaikan hal ini.

Meski demikian, kita tidak bisa serta merta menyerahkan dan menggantungkan hal ini hanya pada pemerintah. Kita perlu secara bersama-sama sebagai bangsa menanggulangi masalah ini. Yang bisa kita lakukan jauh lebih awal lagi, mempersiapkan para remaja putri yang akan menjadi ibu bagi generasi mendatang. Setidaknya ada 3 hal yang bisa kita lakukan, pertama nikahkanlah anak perempuan kita setelah cukup umur, idealnya setelah 21 tahun; kedua, persiapkan status gizi anak perempuan kita sebelum hamil, minimal dengan lingkar lengan atas di atas 23,5 sentimeter; ketiga, persiapkan pengetahuan anak perempuan kita tentang pentingnya kecukupan zat gizi pada saat hamil. 

Sekali lagi, kita perlu secara bersama-sama harus peduli dengan masalah ini. Miris sekali… generasi penerus bangsa ini terancam menjadi bangsa liliput! Liliput yang meladeni dan menghibur bangsa lain sebagai putri saljunya. Liliput dalam dongeng snow white mungkin lucu, sangat lucu bahkan! Tapi kalau generasi bangsa kita yang jadi liliput??? Saya nggak ikhlas… sama sekali nggak ikhlas! Lahir bathin! Dunia akhirat!!! (ADL)

buku "Determinan Sosial Kesehatan Ibu dan Anak"





Oleh:
Agung Dwi Laksono & Tety Rachmawati (editor)

©2013 Kanisius
ISBN 978-979-21-3563-3

diterbitkan atas kerja sama
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN
& PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya
Telp. +6231-3528748, Fax. +6231-3528749

dan

PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349
Website : www.kanisiusmedia.com
E-mail : office@kanisiusmedia.com

222 halaman


Bunga rampai ini mencoba mengurai permasalahan yang terjadi dalam ranah kesehatan ibu dan anak. Uraian tidak melulu dalam sudut pandang kesehatan, tetapi lebih kepada pendekatan yang lebih utuh, lebih komprehensif, sistemik. Determinan sosial menjadi salah satu menu pelengkap wajib bila memang peningkatan status kesehatan ibu dan anak benar-benar menjadi tujuan. Banyak determinan sosial justru berlaku local specific. Kebijakan pembangunan kesehatan ibu dan anak tidak bisa lagi hanya mengandalkan dalam format yang generik, berlaku umum untuk seluruh wilayah republik ini. Para pengambil kebijakan di tingkat pusat tidak lagi bisa memaksakan pola yang sama untuk seluruh kabupaten/kota. Kebijakan yang disusun harus bisa memberikan peluang untuk pengembangan ataupun inovasi bagi daerah. Kami menaruh harapan besar bahwa bunga rampai ini mampu memberikan pemahaman baru bagi semua pelaku pembangunan kesehatan ibu dan anak, terlebih lagi para pengambil kebijakan.



DAFTAR ISI

Tantangan Determinan Sosial Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Agung Dwi Laksono & Tety Rachmawati

Bayang-banyang Jampersal di Lamanggau
Yunita Fitrianti & Rozana Ika Agustiya

Geliat PNPM GSC di Lombok Tengah
Sri Handayani & Muhammad Agus Mikrajab

Antara Budaya, Tabu dan Penyelamatan Ibu Hamil
Yurika Fauzia Wardhani & Setia Pranata

Akses Pelayanan Ibu dan Anak di Kepulauan
Agung Dwi Laksono & Setia Pranata

Sandro, Pangullieh dan Bidan; dalam Persalinan di Lamanggau
Rozana Ika Agustiya & Yunita Fitrianti


Pemesanan buku edisi cetak sila hubungi;
Selvi (CSO) Penerbit Media
Telp. 0274-588783 ext. 300; 08886872541
E-mail : cso@kanisiusmedia.com.

siapa yang bodoh???


program kesehatan sebagus dan secanggih apapun tidak akan menjadi berhasil bila dalam implementasinya tidak memperhatikan "lingkungan" dimana program itu akan dilaksanakan.
implementasi program tidak serta merta semacam hitungan matematis dan ilmiah. bila perhatian terhadap karakteristik sasaran meleset, maka program kesehatan yang bagus bisa menjadi basi.

menyalahkan sasaran dengan berasumsi "bodoh", "ndeso", ataupun "kolot", tidak menyelesaikan masalah.
tetap saja program mandeg. mangkrak.
bahkan bila perlu menuduh balik, programmer kesehatannya "bodoh!", karena tidak bisa menyelami "lingkungan" dimana dia bekerja.

dalam filosofi jawa mengajarkan bahwa menjalani sesuatu ada "empan-papan"nya.
segala sesuatu itu harus pada tempatnya, harus tepat waktu dan segala sesuatunya. 
programnya mungkin "bener, ning ora pener".
programnya mungkin benar, tetapi belum tentu betul.

lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. eh tapi kita tidak sedang mancing kaan?


-ADL-

buku "Simpang Jalan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak"



"...kontraksi perut istrinya semakin sering hingga akhirnya bayi lahir dengan lancar. Bayi yang terlahir tidak segera menangis. Sesuai dengan instruksi yang dibaca di Google, bayi yang baru lahir tersebut diangkat kedua kakinya ke atas sehingga posisi kepala di bawah dan dilakukan tepukan perlahan sebanyak 3 kali ke punggung bayi dengan telapak tangan dirapatkan..."

(Chapter "PEREMPUAN NIAS SELATAN DI ANTARA DUA PILIHAN; MODERNISASI & TRADISI" dalam buku "SIMPANG JALAN PELAYANAN KESEHATAN IBU & ANAK, SEBUAH STUDI ETNOGRAFI")


"...sejak tahun 2009, pemerintah setempat mengajukan kepada Kementerian Kesehatan untuk mendirikan kelas khusus Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dan Sekolah Kebidanan yang akan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Biak. Kenapa mengajukan hanya SPK yang setara SLTA? Bukankah pendidikan kesehatan saat ini minimal harus setara Diploma 3? Pilihan ini bukannya tanpa alasan. Minimnya sumber daya dengan pendidikan yang memadai membuat pilihan ini jauh lebih masuk akal..."

(Chapter "INOVASI DALAM BALUTAN TRADISI: UPAYA MENINGKATKAN DERAJAT KESEHATAN PEREMPUAN NGALUM" dalam buku "SIMPANG JALAN PELAYANAN KESEHATAN IBU & ANAK, SEBUAH STUDI ETNOGRAFI")


"...vagina ibu yang usai melahirkan dibalut/dibebat dengan kain tenun hitam polos milik sang dukun yang konon katanya bisa menghentikan pendarahan. Usaha lain untuk menghentikan pendarahan adalah dengan memberikan ramuan temulawak dan saung mĂȘnĂ© untuk diminumkan kepada ibu usai melahirkan. Tidak ada proses penjahitan pada vagina oleh dukun beranak. Luka melahirkan akan sembuh dengan sendirinya berkat ramuan obat kampung..."

(Chapter "KEHAMILAN DAN PERSALINAN DI WAE CODI: ANTARA PERAN DUKUN BERANAK DAN BIDAN" dalam buku "SIMPANG JALAN PELAYANAN KESEHATAN IBU & ANAK, SEBUAH STUDI ETNOGRAFI")


"...setelah melahirkan, ibu nifas akan melakukan nite (baca: ni-te). Dalam kamus bahasa Gayo-Indonesia (Bahry, 2009:258), nite artinya istirahat setelah melahirkan. Pada masa nite, banyak ritual yang dilakukan oleh ibu nifas. Salah satunya adalah duduk dan tidur membelakangi api yang dikenal dengan istilah bedaring oleh masyarakat setempat. Ibu nifas melakukan bedaring setiap hari pada siang dan malam selama 44 hari sampai masa nifas berakhir..."

(Chapter "PERAN DUKUN KAMPUNG GAYO DALAM KESEHATAN IBU" dalam buku "SIMPANG JALAN PELAYANAN KESEHATAN IBU & ANAK, SEBUAH STUDI ETNOGRAFI")